PUSTAKA

PUSTAKA
KARYAWATI PUSTAKA JABALNUR 'ILMI

PUSTAKA

PUSTAKA
MEMBACA

PERPUSTAKAAN JABALNUR 'ILMI

PERPUSTAKAAN JABALNUR 'ILMI
ANAK-ANAK LAGI SERIUS MEMBACA

Minggu, 18 Desember 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH




.

logo
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No. 172, 1999
http://ngada.org/image/ydown.gif

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:  a.  bahwa sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah;
b.  bahwa kehidupan religius rakyat Aceh yang telah membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia meskipun rakyat Aceh kurang mendapat peluang untuk menata diri;
c.  bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan;
d.  bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut serta untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memerlukan adanya jaminan kepastian hukum dalam melaksanakan segala urusan, perlu dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh;

Mengingat:    1.  Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
2.  Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
3.  Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390);
4.  Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
5.  Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   UNDANG-UNDANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.  Daerah adalah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
2.  Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai badan eksekutif Daerah.
3.  Gubernur adalah Gubernur Daerah Istimewa Aceh.
4.  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
5.  Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
6.  Propinsi Daerah Istimewa Aceh adalah Daerah Otonom yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
7.  Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
8.  Keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.
9.  Kebijakan Daerah adalah Peraturan Daerah atau Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur dan mengikat dalam penyelenggaraan keistimewaan.
10. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
11. Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan syariat Islam yang lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan sebagai landasan hidup.

BAB II
KEWENANGAN

Pasal 2
(1)  Daerah diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur Keistimewaan yang dimiliki.
(2)  Kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur Keistimewaan yang dimiliki, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di Kabupaten dan Kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.

BAB III
PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3
(1)  Keistimewaan merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan.
(2)  Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:
a.  penyelenggaraan kehidupan beragama;
b.  penyelenggaraan kehidupan adat;
c.  penyelenggaraan pendidikan; dan
d.  peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

Bagian Kedua
Penyelenggaraan Kehidupan Bersama

Pasal 4
(1)  Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.
(2)  Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama.

Pasal 5
(1)  Daerah dapat membentuk lembaga agama dan mengakui lembaga agama yang sudah ada dengan sebutan sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
(2)  Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan bagian perangkat Daerah.

Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Kehidupan Adat

Pasal 6
Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam.
Pasal 7
Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Pemukiman, dan Kelurahan/Desa atau Gampong.
Bagian Keempat
Penyelenggaraan Pendidikan

Pasal 8
(1)  Pendidikan di Daerah diselenggarakan sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional.
(2)  Daerah mengembangkan dan mengatur berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam.
(3)  Daerah mengembangkan dan mengatur Lembaga Pendidikan Agama Islam bagi pemeluknya di berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.

Bagian Kelima
Peran Ulama dalam Penetapan Kebijakan Daerah

Pasal 9
(1)  Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama.
(2)  Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.

Bagian Keenam
Pembiayaan

Pasal 10
Sumber pembiayaan penyelenggaraan Keistimewaan dialokasikan dari dana:
a.  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan
b.  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Bagian Ketujuh
Peraturan Pelaksanaan

Pasal 11
Penyelenggaraan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 12
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

MULADI

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 3893
http://ngada.org/image/yup.gif

PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

I.  UMUM
Dua abad sebelum Masehi, Aceh dalam sejarahnya dikenal sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara, yang disinggahi pedagang Timur Tengah menuju ke negeri Cina. Ketika Islam lahir pada abad VI Masehi, Aceh menjadi wilayah pertama di Nusantara yang menerima Islam. Setelah melalui proses yang panjang, Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam pada abad XIII Masehi, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan yang maju pada abad XIV Masehi. Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh Asia Tenggara. Pada sekitar abad XV, ketika orang-orang Barat memulai petualangannya di Timur, banyak wilayah di Nusantara yang dikuasainya, tetapi Aceh tetap bebas sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat. Dalam percaturan politik internasional, hubungan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda yang semula cukup baik, pada abad XIX mengalami krisis. Meskipun demikian, dalam Traktat London 17 Maret 1824, Pemerintah Belanda berjanji kepada Pemerintah Inggris untuk tetap menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh. Empat puluh tujuh tahun kemudian, dengan berbagai kelicikan, Belanda meyakinkan Inggris untuk tidak menghalanginya menguasai Aceh melalui Traktat Sumatera 1 November 1871. Dua tahun kemudian (1873) Belanda menyerang Aceh, yang berlangsung puluhan tahun dengan korban yang tidak terkira banyaknya pada kedua belah pihak. Sejak waktu itu sampai Perang Dunia II Belanda kehilangan enam orang jenderal dan ribuan perwira serta prajurit. Demikian juga dengan Aceh yang tidak hanya kehilangan harta dan jiwa, bahkan yang lebih penting, Aceh telah kehilangan kedaulatannya.
Dari latar belakang sejarah yang cukup panjang inilah masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya.
Islam telah menjadi bagian dari mereka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi.
Penghayatan terhadap ajaran agama Islam dalam jangka yang panjang itu melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi "adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bank Putro Phang, Reusam bak Laksamana" yang artinya "hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama". Kata-kata ini merupakan pencerminan dari perwujundang syariat Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Aceh kemudian dikenal sebagai Serambi Mekah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum Muslimin dari wilayah lain di Nusantara berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat Aceh sangat mendukung proklamasi itu karena mereka merasa senasib dan sepenanggungan dengan saudara-saudaranya yang lain. Dukungan ini dinyatakan dengan kerelaan menyerahkan harta dan nyawa untuk tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda di Medan Area Sumatera Utara dan membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan menegakkan kedaulatan negara ini merupakan bukti kesetiaan masyarakat Aceh kepada Republik Indonesia.
Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki oleh Belanda sehingga Aceh disebut sebagai Daerah Modal bagi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam era mempertahankan kemerdekaan ini peran para ulama sangat menentukan karena melalui fatwa dan bimbingan para ulama ini rakyat rela berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Atas dasar perjuangan itu pula Aceh mendapat kedudukan tersendiri sehingga dengan Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM/49 tertanggal 17 Desember 1949, Aceh dinyatakan sebagai satu propinsi yang berdiri sendiri yang lepas dari Propinsi Sumatera Utara.
Namun, setelah Republik Indonesia kembali ke negara kesatuan, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 status daerah Aceh kembali ditetapkan menjadi salah satu karesidenan dalam Propinsi Sumatera Utara. Ketetapan ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pemimpin dan rakyat Aceh, yang pada akhirnya menimbulkan gejolak perlawanan pada tahun 1953 yang melibatkan hampir seluruh rakyat Aceh, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga Daerah Aceh kehilangan peluang untuk menata diri.
Guna memenuhi aspirasi dan tuntutan rakyat Aceh, Pemerintah menetapkan kembali status Karesidenan Aceh menjadi daerah otonom Propinsi Aceh. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang "Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara".
Salah satu faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian masalah keamanan Aceh adalah setelah Pemerintah Pusat mengirimkan satu missi khusus di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri yang memberikan status Daerah Istimewa melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Sesungguhnya, melalui pemberian status Daerah Istimewa bagi Propinsi Aceh ini, merupakan jalan menuju penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh. Namun, karena adanya kecenderungan pemusatan kekuasaan di Pemerintah Pusat melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, maka penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang kemudian melahirkan hal-hal yang tidak sejalan dengan aspirasi Daerah.
Isi Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Propinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan, yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahkan disertai dengan penambahan peran ulama dalam menentukan kebijakan Daerah. Untuk menindaklanjuti ketentuan mengenai Keistimewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk menyusun penyelenggaraan Keistimewaan Aceh tersebut dalam suatu undang-undang.
Undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh ini dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam mengatur urusan-urusan yang telah menjadi keistimewaannya melalui kebijakan Daerah. Undang-undang ini mengatur hal-hal pokok untuk selanjutnya memberi kebebasan kepada Daerah dalam mengatur pelaksanaannya sehingga kebijakan Daerah diharapkan lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Aceh.

II.  PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh tentang kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur Keistimewaannya berlaku di seluruh Kabupaten/Kota.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama adalah mengupayakan dan membuat kebijakan Daerah untuk mengatur kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Di samping itu, pemeluk agama lain dijamin untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lembaga agama adalah lembaga yang hidup di dalam masyarakat dan berperan dalam mengembangkan kehidupan beragama, seperti Badan Amil Zakat dan meunasah.
Kedudukannya masing-masing adalah hubungan dan peran setiap lembaga dengan lembaga lainnya yang sejenis menurut keadaan yang berlaku saat undang-undang ini ditetapkan.
Ayat (2)
Lembaga ini tidak merupakan perangkat Daerah sepanjang tidak dibentuk dengan maksud sebagai perangkat Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Kemukiman dipimpin oleh Imum Mukim yang bertugas sebagai koordinator beberapa Desa.
Gampong adalah Desa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah bahwa kurikulum dalam setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sama dengan kurikulum pada Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan menambah materi muatan lokal adalah menambah materi pelajaran yang berkaitan dengan pelajaran agama, adat, dan budaya yang Islami.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Peran ulama dalam penentuan kebijakan Daerah bersifat terus menerus sehingga dipandang perlu dilembagakan dalam suatu badan. Badan tersebut dibentuk di Propinsi dan dapat juga dibentuk di Kabupaten/Kota yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud independen adalah kedudukan badan yang tidak berada di bawah Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetapi sejajar.
Pertimbangan badan tersebut dapat berbentuk fatwa atau nasihat, baik secara tertulis maupun secara lisan, yang dapat digunakan dalam pembahasan kebijakan Daerah.

Pasal 10
Untuk pembiayaan penyelenggaraan Keistimewaan yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dialokasikan dana khusus melalui Dana Alokasi Khusus dari Dana Perimbangan.
Untuk pembiayaan penyelenggaraan Keistimewaan yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dialokasikan dana yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah.

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

 Dipostkan Oleh Lembaga Jabalnur 'Ilmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar