PUSTAKA

PUSTAKA
KARYAWATI PUSTAKA JABALNUR 'ILMI

PUSTAKA

PUSTAKA
MEMBACA

PERPUSTAKAAN JABALNUR 'ILMI

PERPUSTAKAAN JABALNUR 'ILMI
ANAK-ANAK LAGI SERIUS MEMBACA

Jumat, 23 Desember 2011

PERMOHONAN PENGESAHAN JUDUL . (DARI HUSAQWA RIDHA)


Nomor
Lampiran
Perihal

: Istimewa
: 1 (satu) Berkas
: Permohonan untuk penulisan   Skripsi


Jabal Ghafur,  4 Desember   2011

Kepada Yth
Bapak Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jabal Ghafur Sigli
c/q Ketua Prodi Ilmu Hukum
di,-
      Gle Gapui

Dengan Hormat
             Sehubungan dengan sudah lulusnya semua mata kuliah yang menjadi beban SKS saya, maka dengan ini saya mengajukan judul skripsi (Terlampir) sebagai kewajiban terakhir saya untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum yang Bapak Pimpin.

             Demikian atas perhatian dan perkenan Bapak saya ucapkan terimakasih



Hormat Saya
Pemohon


HUSAQWA RIDHA
NIM. 08104111020

PERMOHONAN UNTUK PENULISAN SKRIPSI

I. KETERANGAN TENTANG PEMOHON
  1. NAMA Mahasiswa                                                     : HUSAQWA RIDHA
  2. Nomor Induk Mahasiswa (NIM)                                : 08104111020
  3. Angkatan Tahun                                                         : 2008
  4. Sudah/ belum lulus dalam mata kuliah wajib              : Sudah
  5. Jumlah SKS yang telah diperoleh                               : 130 SKS
  6. Bagian                                                                         : Hukum Pidana
  7. Program Kekhususan                                                  : Ilmu Hukum

II. JUDUL SKRIPSI
PERANAN POLRI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA
PERJUDIAN YANG DILAKUKAN ANAK-ANAK
(Studi Kasus di Polsek Indrajaya)

A. Latar Belakang Masalah
Berbagai kasus merebak sejalan dengan tuntutan akan perubahan, yang dikenal dengan reformasi, tampak di berbagai lapisan masyarakat dari tingkat atas sampai bawah terjadi penyimpangan hukum. Pembangunan masyarakat hukum madani (civil society) merupakan tatanan hidup masyarakat yang memiliki, kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum. Akan tetapi dalam perjalanan (transisi) perubahan terdapat sejumlah ketimpangan hukum yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat. Perjudian, misalnya dibentuk dari tingkat dan klasifikasi Perjudian yang bermula dari tingkat atas sampai bawah, bahkan Perjudian yang dilakukan oleh anak-anak sehingga dalam setiap peristiwa, sorotan keras terhadap Perjudian terus dilancarkan, dalam rangka mengurangi tindak pidana.
Untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat dalam kaitannya dengan perubahan kejahatan tersebut, maka dapat dilakukan usaha perencanaan pembuatan hukum pidana yang menampung segala dinamika masyarakat hal ini merupakan masalah kebijakan yaitu mengenai pemilihan sarana dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.
Hukum pidana seringkali digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial khususnya dalam penanggulangan kejahatan. Khususnya masalah perjudian sebagai salah satu bentuk penyakit masyarakat, satu bentuk patologi sosial (Kartini Kartono: 2005: 27)  Penegakan hukum pidana untuk menanggulangi perjudian sebagai perilaku yang menyimpang harus terus dilakukan. Hal ini sangat beralasan karena perjudian merupakan ancaman yang nyata terhadap norma-norma sosial yang dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial. Perjudian merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial (Saparinah Sadli: 1998: 148)
Dengan demikian perjudian dapat menjadi menghambat pembangunan nasional yang beraspek materiel-spiritual. Karena perjudian mendidik orang atau anak-anak untuk mencari nafkah dengan tidak sewajarnya dan membentuk watak “pemalas”. Sedangkan pembangunan membutuhkan individu  dan kemauan yang giat bekerja keras dan bermental kuat.  Sangat beralasan kemudian judi harus segera dicarikan cara dan solusi yang rasional untuk suatu pemecahannya. Karena sudah jelas judi merupakan problema sosial yang dapat mengganggu fungsi sosial dari masyarakat.  Salah satu usaha rasional yang digunakan untuk menanggulangi perjudian adalah dengan pendekatan kebijakan hukum pidana.
Penggunaan hukum pidana ini sesuai dengan fungsi hukum sebagai social control atau pengendalian sosial yaitu suatu proses yang telah direncanakan lebih dahulu dan bertujuan untuk menganjurkan, mengajak, menyuruh atau bahkan memaksa anggota-anggota masyarakat agar mematuhi norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang sedang berlaku. Di samping itu hukum pidana juga dapat dipakai sebagai sarana untuk merubah atau membentuk masyarakat sesuai dengan bentuk masyarakat yang dicita-citakan fungsi demikian itu oleh Roscoe Pound dinamakan sebagai fungsi social engineering atau rekayasa sosial.( Ronny Hanitjo Soemitro: 1995: 87)
Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umunya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. (Muladi, Barda Nawawi Arief: 1992: 178)
Kasus yang berkaitan dengan anak-anak yang melakukan tindak pidana, perspektif perlindungan anak para aparat penegak hukum seperti polisi masih sangat memprihatinkan dan belum menunjukkan keberpihakannya terhadap anak. Dalam refleksi akhir tahun 2009, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menyatakan tindak pelanggaran hak asasi manusia usia anak oleh aparat penegak hukum didominasi oleh jajaran kepolisian.
Efektifitas upaya penegakan hukum untuk merintangi berkembangnya perjudian hingga saat ini di Polres Asahan dirasa belum optimal. Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana peran Polri dalam penanggulangan tindak pidana kasus perjudian di Wilayah Hukum Polres Asahan dan apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perjudian tersebut.
Kasus yang terjadi dilapangan selama ini banyak anak-anak yang melakukan perjudian di warnet dengan bermain poker dan melakukan perjudian di  kampung-kampung yang dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat yang selam ini telah banyak yang melakukan perjudian, kasus perjudian yang ada di kecamatan Indrajaya selam ini ialah banyak anak-anak yang bermain poker, tusot, dan bahkan bermain taruhan bola.
Polri juga ikut berperan dalam menanggulangi kriminal atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak dalam hal ini perlu pimbinaan yang terus menerus dalam rangka menangulangi kejahatan khususnya kejahatan Perjudian yang dilakukan oleh anak-anak di wilayah kecamatan Indrajaya. Berdasarkan latar belakang yang telah penulis sebutkan maka penulis tertarik untuk meneliti dengen judul “Peranan Polri dalam Menangani Tindak Pidana Perjudian yang dilakukan Anak-Anak (Studi Kasus di Polsek Indrajaya)

B. Rumusan Masalah
            Adapun Rumusan Permasalahannya ialah sebagai berikut:
1.      Apa penyebab terjadainya perjudian yang dilakukan oleh anak-anak?
2.      Upaya apa saja yang dilakukan oleh Polri sektor Indrajaya dalam menanggulangi  tinda pidana perjudian?
3.      Kendala apa saja yang dihadapi oleh Polri sektor Indrajaya dalam menanggulangi  tinda pidana perjudian?
C. Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui penyebab terjadainya perjudian yang dilakukan oleh anak-anak?
2.      Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan oleh Polri sektor Indrajaya dalam menanggulangi  tinda pidana perjudian?
3.      Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi oleh Polri sektor Indrajaya dalam menanggulangi  tinda pidana perjudian?

D. Definisi Oprasional
            Adapun yang menjadi definisi oprasional adalah sebagai berikut:
  1. Peran Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan khususnya dalam menindak kejahatan yang meresahkan masyarakat yaitu perjudian (UU RI. Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)
  2. Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.)
  3. Perjudian menurut KUHP dalam Pasal 303 ayat (3) yang diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebutkan bahwa: Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapatkan untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.)
  4. Anak-anak adalah  jiwa yang masih berumur 6 s/d 15 Tahun yang masih duduk di bangku SD atau  SMP, dan masih ditanggung semua beban pada orang tuanya.
  5. Jenis perjudian adalah ragam bentuk judi terbagi dalam perjudian di kasino (Blackjack, Slot machine (Jackpot), Poker, Hwa Hwe, Qiu-qiu, dan lain-lain), perjudian di tempat-tempat keramaian (lempar gelang, lempar bola, lembar uang, Kim, mayong, erek-erek, dan lain-lain), dan perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan (adu kerbau, adu burung merpati, adu ayam, dan lain-lain). (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.)

E. Ruang Lingkup Penelitian.
            Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam pembahasan skripsi ini ialah: “ Peran yang dilakukan oleh polri sektor Indrajaya dalam rangka menangani tindak pidana perjudian yang dilakukan oleh anak-anak”.

F. Hipotesis Penelitian.
            Adapun yang menjadi Hipotesis dalam penelitian ini ialah “ Polri menemui banyak kendala dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak dan masih adanya faktor penghambat dalam menangani kasus tersebut”.

G. Metode Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data dimaksud diatas digunakan teknik sebagai berikut:
1.      Library Research ( penelitian Pustaka )  yaitu penelaahan buku-buku diperpustakaan  untuk memperoleh teori-teori, peraturan-peraturan serta undang-undang  yang berkaitan dengan perjudian dan Undang-undang perlindungan anak.
2.      Field  Research ( Penelitian Lapangan )  yaitu usaha untuk mengumpulkan data  atau imformasi dilapangan  yang ada hubungannya dengan Bagaimana peran kepolisian sektor indrajaya dalam menangani kasus tindak pidana perjudian yang dilakukan oleh anak-anak, namun  untuk memperoleh data dan imformasi yang penulis butuhkan dalam penyusunan karya ilmiah ini  penulis menggunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut :
a.       Obserfasi  yaitu mengamati langsung  terhadap apa saja yang dijadikan sebagai objek penelitian.
b.      Wawancara yaitu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah   tertentu antara peneliti dan subjek  dengan mengajukan beberapa buah pertanyaan secara lisan yang menyangkut masalah yang ingin dimintai informasi kepadanya,  wawancara ini penulis lakukan dengan para pihak yang berkaitan dengan judul skripsi yang penulis bahas ini  Ketua DPRK dan Para Anggotanya serta Kabag Hukum dan Bapelda
c.       Dokumentasi yaitu segala sesuatu bentuk dokem yang berkaitan dan judul yang penulis teliti.
d.      Analisis data, yaitu suatu teknik untuk memperoleh keterangan tertulis dan fakta resmi dengan meneliti langsung  pada DPRK Pidie


H. Populasi Penelitian
            Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini ialah: Kepala Kepolisian Sektor Indrajaya dan Kabid Humas Kapolsek Indrajaya dan para anggota yang berkaitan dengan persoalan yang penulis perlukan dalam penulisan skripsi ini”.

I. Metode analisis Data
Setelah data terkumpul kemudian dianalisa menggunakan metode analisis kualitatif. Oleh karena itu, data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peran Kepolisian Kecamatan Indrajaya dalam menangani kasus tindak pidana perjidian yang dilakukan oleh anak-anak.

I. Sistematika Pembahasan.
Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam memahami uraian penulisan ini  maka Pembahasannya dibagi dalam  5 (lima) Bab yaitu :
Bab  I  :   Pendahuluan
Bab Pertama ini dibagi  dalam  6 (Enam) sub bab yaitu ; Latar    belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,  Definisi Oprasional, Ruang lingkup  penelitian, Hipotesis Ppenelitian   dan   dilengkapi   pula dengan  sistematika  pembahasan yaitu sub terakhir dalam pembahasan  Bab  Pertama ini.
Bab II  : Tinjauan Pustaka.
Bab kedua ini juga  dibagi lagi dalam 4 (Empat) sub bab yaitu ; Pengertian Perjudian dan Anak-anak, Penyebab terjadinya perjudian, Peran Polri dalam mengatasi terjadinya perjudian dan pandangan hukum terhadap perjudian.
Bab III            :  Metode Penelitian.
Bab Ketiga ini pula dibagi  dalam 4 ( Empat ) sub bab yaitu ; Tempat Penelitian, Jadwal Penelitian, Sampel penelitian dan Metode Menganalisis Data Penelitian
Bab IV:  Pembahasan.
Analisis Data dan  Pembuktian Hipotesis.  
Bab V  :  Penutup.
Bab yang terakhir dalam pembahasan ini  di bagi dua sub bab saja yaitu Kesimpulan dan Saran-saran.










DAFTAR PUSTAKA
a. Buku-uku
B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, (Bandung : Tarsito, 1990)

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001)

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998)
  
Saparinah Sadli, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cet.. II, (Bandung: Alumni, 1998)

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Cet. 1, Jilid I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)

Winarno Surachmat, Dasar dan Teknik Research, Pengantar dan Metode Ilmiah, Tarsito, Bandung, 1980.

Sadjijono, Seri Hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance, (Jakarta: Laksbang Mediatama, 2008),

Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005).
   
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992)
 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), 
b. Undang-undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian,
 
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perpolisian Masyarakat, Buku Pedoman Pelatihan untuk Anggota Polri, Jakarta: 2006

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tugas dan Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Bab III, Pasal 13. 

Minggu, 18 Desember 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH




.

logo
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No. 172, 1999
http://ngada.org/image/ydown.gif

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:  a.  bahwa sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah;
b.  bahwa kehidupan religius rakyat Aceh yang telah membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia meskipun rakyat Aceh kurang mendapat peluang untuk menata diri;
c.  bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan;
d.  bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut serta untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memerlukan adanya jaminan kepastian hukum dalam melaksanakan segala urusan, perlu dibentuk Undang-undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh;

Mengingat:    1.  Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
2.  Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
3.  Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390);
4.  Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
5.  Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   UNDANG-UNDANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.  Daerah adalah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
2.  Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai badan eksekutif Daerah.
3.  Gubernur adalah Gubernur Daerah Istimewa Aceh.
4.  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
5.  Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
6.  Propinsi Daerah Istimewa Aceh adalah Daerah Otonom yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
7.  Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
8.  Keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.
9.  Kebijakan Daerah adalah Peraturan Daerah atau Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur dan mengikat dalam penyelenggaraan keistimewaan.
10. Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
11. Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan syariat Islam yang lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan sebagai landasan hidup.

BAB II
KEWENANGAN

Pasal 2
(1)  Daerah diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur Keistimewaan yang dimiliki.
(2)  Kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur Keistimewaan yang dimiliki, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di Kabupaten dan Kota diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.

BAB III
PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3
(1)  Keistimewaan merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan.
(2)  Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:
a.  penyelenggaraan kehidupan beragama;
b.  penyelenggaraan kehidupan adat;
c.  penyelenggaraan pendidikan; dan
d.  peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

Bagian Kedua
Penyelenggaraan Kehidupan Bersama

Pasal 4
(1)  Penyelenggaraan kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.
(2)  Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama.

Pasal 5
(1)  Daerah dapat membentuk lembaga agama dan mengakui lembaga agama yang sudah ada dengan sebutan sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
(2)  Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan bagian perangkat Daerah.

Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Kehidupan Adat

Pasal 6
Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam.
Pasal 7
Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Pemukiman, dan Kelurahan/Desa atau Gampong.
Bagian Keempat
Penyelenggaraan Pendidikan

Pasal 8
(1)  Pendidikan di Daerah diselenggarakan sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional.
(2)  Daerah mengembangkan dan mengatur berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam.
(3)  Daerah mengembangkan dan mengatur Lembaga Pendidikan Agama Islam bagi pemeluknya di berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.

Bagian Kelima
Peran Ulama dalam Penetapan Kebijakan Daerah

Pasal 9
(1)  Daerah membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama.
(2)  Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.

Bagian Keenam
Pembiayaan

Pasal 10
Sumber pembiayaan penyelenggaraan Keistimewaan dialokasikan dari dana:
a.  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan
b.  Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Bagian Ketujuh
Peraturan Pelaksanaan

Pasal 11
Penyelenggaraan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 12
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

MULADI

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 3893
http://ngada.org/image/yup.gif

PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 1999
TENTANG
PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

I.  UMUM
Dua abad sebelum Masehi, Aceh dalam sejarahnya dikenal sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara, yang disinggahi pedagang Timur Tengah menuju ke negeri Cina. Ketika Islam lahir pada abad VI Masehi, Aceh menjadi wilayah pertama di Nusantara yang menerima Islam. Setelah melalui proses yang panjang, Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam pada abad XIII Masehi, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan yang maju pada abad XIV Masehi. Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh Asia Tenggara. Pada sekitar abad XV, ketika orang-orang Barat memulai petualangannya di Timur, banyak wilayah di Nusantara yang dikuasainya, tetapi Aceh tetap bebas sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat. Dalam percaturan politik internasional, hubungan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda yang semula cukup baik, pada abad XIX mengalami krisis. Meskipun demikian, dalam Traktat London 17 Maret 1824, Pemerintah Belanda berjanji kepada Pemerintah Inggris untuk tetap menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh. Empat puluh tujuh tahun kemudian, dengan berbagai kelicikan, Belanda meyakinkan Inggris untuk tidak menghalanginya menguasai Aceh melalui Traktat Sumatera 1 November 1871. Dua tahun kemudian (1873) Belanda menyerang Aceh, yang berlangsung puluhan tahun dengan korban yang tidak terkira banyaknya pada kedua belah pihak. Sejak waktu itu sampai Perang Dunia II Belanda kehilangan enam orang jenderal dan ribuan perwira serta prajurit. Demikian juga dengan Aceh yang tidak hanya kehilangan harta dan jiwa, bahkan yang lebih penting, Aceh telah kehilangan kedaulatannya.
Dari latar belakang sejarah yang cukup panjang inilah masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya.
Islam telah menjadi bagian dari mereka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi.
Penghayatan terhadap ajaran agama Islam dalam jangka yang panjang itu melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi "adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bank Putro Phang, Reusam bak Laksamana" yang artinya "hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama". Kata-kata ini merupakan pencerminan dari perwujundang syariat Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Aceh kemudian dikenal sebagai Serambi Mekah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum Muslimin dari wilayah lain di Nusantara berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat Aceh sangat mendukung proklamasi itu karena mereka merasa senasib dan sepenanggungan dengan saudara-saudaranya yang lain. Dukungan ini dinyatakan dengan kerelaan menyerahkan harta dan nyawa untuk tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda di Medan Area Sumatera Utara dan membeli dua pesawat terbang untuk perjuangan menegakkan kedaulatan negara ini merupakan bukti kesetiaan masyarakat Aceh kepada Republik Indonesia.
Selama revolusi fisik, Aceh merupakan satu-satunya wilayah yang tidak dapat diduduki oleh Belanda sehingga Aceh disebut sebagai Daerah Modal bagi perjuangan bangsa Indonesia. Dalam era mempertahankan kemerdekaan ini peran para ulama sangat menentukan karena melalui fatwa dan bimbingan para ulama ini rakyat rela berjuang dan berkorban mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Atas dasar perjuangan itu pula Aceh mendapat kedudukan tersendiri sehingga dengan Peraturan Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM/49 tertanggal 17 Desember 1949, Aceh dinyatakan sebagai satu propinsi yang berdiri sendiri yang lepas dari Propinsi Sumatera Utara.
Namun, setelah Republik Indonesia kembali ke negara kesatuan, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 status daerah Aceh kembali ditetapkan menjadi salah satu karesidenan dalam Propinsi Sumatera Utara. Ketetapan ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pemimpin dan rakyat Aceh, yang pada akhirnya menimbulkan gejolak perlawanan pada tahun 1953 yang melibatkan hampir seluruh rakyat Aceh, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga Daerah Aceh kehilangan peluang untuk menata diri.
Guna memenuhi aspirasi dan tuntutan rakyat Aceh, Pemerintah menetapkan kembali status Karesidenan Aceh menjadi daerah otonom Propinsi Aceh. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang "Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara".
Salah satu faktor yang menentukan dalam menuntaskan penyelesaian masalah keamanan Aceh adalah setelah Pemerintah Pusat mengirimkan satu missi khusus di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri yang memberikan status Daerah Istimewa melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Sesungguhnya, melalui pemberian status Daerah Istimewa bagi Propinsi Aceh ini, merupakan jalan menuju penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh. Namun, karena adanya kecenderungan pemusatan kekuasaan di Pemerintah Pusat melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, maka penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang kemudian melahirkan hal-hal yang tidak sejalan dengan aspirasi Daerah.
Isi Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Propinsi Aceh yang meliputi agama, peradatan, dan pendidikan, yang selanjutnya diperkuat dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahkan disertai dengan penambahan peran ulama dalam menentukan kebijakan Daerah. Untuk menindaklanjuti ketentuan mengenai Keistimewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk menyusun penyelenggaraan Keistimewaan Aceh tersebut dalam suatu undang-undang.
Undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh ini dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam mengatur urusan-urusan yang telah menjadi keistimewaannya melalui kebijakan Daerah. Undang-undang ini mengatur hal-hal pokok untuk selanjutnya memberi kebebasan kepada Daerah dalam mengatur pelaksanaannya sehingga kebijakan Daerah diharapkan lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Aceh.

II.  PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh tentang kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur Keistimewaannya berlaku di seluruh Kabupaten/Kota.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama adalah mengupayakan dan membuat kebijakan Daerah untuk mengatur kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Di samping itu, pemeluk agama lain dijamin untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan lembaga agama adalah lembaga yang hidup di dalam masyarakat dan berperan dalam mengembangkan kehidupan beragama, seperti Badan Amil Zakat dan meunasah.
Kedudukannya masing-masing adalah hubungan dan peran setiap lembaga dengan lembaga lainnya yang sejenis menurut keadaan yang berlaku saat undang-undang ini ditetapkan.
Ayat (2)
Lembaga ini tidak merupakan perangkat Daerah sepanjang tidak dibentuk dengan maksud sebagai perangkat Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Kemukiman dipimpin oleh Imum Mukim yang bertugas sebagai koordinator beberapa Desa.
Gampong adalah Desa sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sesuai dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah bahwa kurikulum dalam setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sama dengan kurikulum pada Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan menambah materi muatan lokal adalah menambah materi pelajaran yang berkaitan dengan pelajaran agama, adat, dan budaya yang Islami.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Peran ulama dalam penentuan kebijakan Daerah bersifat terus menerus sehingga dipandang perlu dilembagakan dalam suatu badan. Badan tersebut dibentuk di Propinsi dan dapat juga dibentuk di Kabupaten/Kota yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud independen adalah kedudukan badan yang tidak berada di bawah Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetapi sejajar.
Pertimbangan badan tersebut dapat berbentuk fatwa atau nasihat, baik secara tertulis maupun secara lisan, yang dapat digunakan dalam pembahasan kebijakan Daerah.

Pasal 10
Untuk pembiayaan penyelenggaraan Keistimewaan yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dialokasikan dana khusus melalui Dana Alokasi Khusus dari Dana Perimbangan.
Untuk pembiayaan penyelenggaraan Keistimewaan yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dialokasikan dana yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah.

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

 Dipostkan Oleh Lembaga Jabalnur 'Ilmi